Pada zaman dahulu kala, ada ulama dari Yaman yang bernama Mbah Kertawangi datang menetap di tanah sebelah barat sungai tambra. Beliau merupakan utusan Sultan Agung yang diberi tugas untuk mbabat alas membuka lahan. Ditempat itu Mbah Kertawangi membangun Padepokan untuk mengajarkan Agama Islam yang dinamai dinamai Glagah Wangi. Semakin lama masyarakat yang menempati daerah itu semakin banyak.
Pada suatu waktu, terjadi perang di Kasultanan Mataram. Mbah Kertawangi mengutus muridnya yaitu Mbah Reksanegara dan Mbah Panggulu Panunggalan untuk ikut berperamg membela Mataram. Dan pada hari Sabtu Pahing, mereka berdua berangkat ke Mataram dengan naik Kuda Pancal.
Setelah sampai di Mataram, sebenarnya Mbah Reksa Negara dan Mbah Panggulu Panunggalan ingin sowan dulu kepada Sultan Mataram. Akan tetapi kuda yang ditunggani beliau tidak bisa dikendalikan, Kuda tersebut berlari ke medan peperangan, sehingga beliau berangkat perang tanpa sowan kepada Sultan Mataram.
Setelah selesai perang yang berakhir dengan kemenangan, beliau berdua baru sowan kepada Sultan Mataram. Sultan merasa senang atas jasa Mbah Reksanegara dan Mbah Panggulu Panungalan yang ikut memenangkan peperangan, akan tetapi Sultan kurang berkenan karena sebelum berperang Mbah Reksanegara tidak sowan dahulu. Atas pertimbangan dua hal tadi, Sultan menganugerahi Mbah Reksanegara jabatan sebagai Demang tetapi hanya seumur jagung atau kurang lebih empat bulan.
Mbah Reksanegara pulang, beliau kemudian menjadi Demang seumur jagung. Selain itu, beliau mengganti nama padukuhan Glagah Wangi menjadi Karang Tengah, hal ini karena beliau menjadi Demang hanya seumur jagung dan harus berhenti ditengah jalan. Sebelum meninggal beliau berpesan kepada masyarakat Karangtengah agar tidak mengikuti atau mencontoh beiau agar tidak bernasib sama. Beliau melarang masyarakat Karangtengah bepergian pada hari Sabtu Pahing, mendirikan Rumah Balai Malang, memelihara Kuda Pancal dan Jago Wiring Galih.
Mbah Panggulu Panunggalan setelah meninggal dimakamkan didekat Sungai Tambra masih satu lokasi dengan Padepokan. Lokasi sekitar pemakaman Mbah Panggulu Panunggalan dilarang untuk dijadikan lokasi makam penduduk karena disitu terdapat banyak hewan-hewan siluman. Oleh karena itu, Mbah Panggulu Panunggalan terkenal dengan sebutan Mbah Kandang Larang. Konon, dahulu pada bulan Mulud pada Kalender Jawa hewan-hewan tersebut sering menampakan diri.
Saat ini bekas Padepokan Glagah Wangi sudah menjadi komplek pemakaman umum Kedung Ula dan alun-alunnya kini dimanfaatkan menjadi Lapangan Sepakbola Desa